Cinta Memang Harus Memiliki

by - April 28, 2018



Seringkali di kehidupan sehari-hari, cinta banyak bergandengan dengan kalimat  “tak harus memiliki”. Di lirik lagu dalam berbagai versi sering kita temui rangkaian kata ini. Bahwa cinta tak harus memiliki. Benarkah begitu? Nggak salah?
Minggu lalu di sebuah station televisi ada pelawak yang mengatakan “aneh sekali jawaban para artis yang baru jadian ketika diwawancarai infotaiment , jawab mereka, yang penting dia cinta sama aku, dia perhatian, banyak waktu buat aku, ada saat kubutuhkan” pelawak itu berkelakar “ ya iyalah sebelum nikah namanya pe-de-ka-te. Sesudah nikah namanya ka-de-er-te”. Saya bergumam “ iya sih, banyak  kasus begitu…masuk akal”.
Faktanya, cinta sebelum pernikahan yang diuntai bertahun-tahun. Akhirnya banyak yang kandas hanya dalam hitungan  bulan dan tahun. Pacaran 7 tahun bercerai setelah 5 bulan. Alasan tidak cocok. OMG. Ini bukan tren dan sangat tidak layak dijadikan tren. Setuju bukan???
Dulu, ketika saya menginjak Remaja. Tepatnya SMU. Ada seorang teman yang intens berkunjung ke rumah. Tahu kan ada maunya? Mungkin Bapak saya mencium gelagat ketidakberesan. Entah pada saya atau pada teman saya ini. Di sore yang cerah bapak mendekati saya, mengajak bicara dari hati ke hati. Sebuah kalimat dari bapak yang terus terngiang sampai detik ini adalah “kalau ada anak seusia kamu (smu) yang mengucapkan cinta padamu berarti itu bohong, itu gombal”. Ketika itu berusaha tanpa ekspresi apapun dalam hati saya berontak-masa sih. Bapak melanjutkan “seusia perkawinan bapak sama mama aja belum bisa dikatakan cinta, masih penyesuaian, belajar mencintai, berusaha mempertahankan terus dan terus” Dawuh Bapak serius. “Baru kalau seperti mbah Kung dan mbah putri itu bersemi cinta yang saling memiliki dan teruji” kalimat terakhir ini mematahkan hati yang sedang berontak. Mulai melunak, walau belum paham benar (gitu ya). Pada kesempatan yang lain mbah saya yang sudah semakin sepuh mengatakan “engko yen wes tuwo. Kakung itu koyo dulur lanang” (Nanti kalau sudah tua, suami itu seperti saudara laki-laki). Waktu itu saya yang sedang hampir termakan gombal cupid(baca stupid) berpikir keras. Mungkin benar yang saya rasakan ini cuma… bukan cinta.
Cinta harus memiliki. Cinta dan rasa cinta untuk yang kita miliki. Kepada yang Allah titipkan untuk kita miliki. Cinta untuk orang tua, suami, anak, guru dan orang-orang yang tulus perhatian tanpa mengharap balasan. Cinta yang sudah melalui belajar mencinta, sadar dan berusaha mempertahankannya. Seorang perempuan misalnya yang tadinya hanya memperhatikan dandanan dan agenda hariannya. Menikah kemudian harus belajar mencinta, sadar dan berusaha mempertahankan cintanya pada suami. Saling memperhatikan, saling mengingatkan untuk sabar, syukur dan semangat. Seorang ibu yang sebelumnya hanya memperhatikan diri dan suami. Kini harus membagi perhatian, senyum dan ikhlasnya untuk mengasuh Sang Permata. Belajar menyesuaikan diri menjadi ibu, sadar (tanggung jawab) mencintai putra-putrinya. Dia akan mempertahankan api cintanya agar terus membara, walau letih menyerang, bosan menyergap. Cinta harus membara.
Di buku pak Dahlan Iskan Ganti Hati, cetakan I (2007) ada beberapa foto Ibu Dahlan. Beliau terlihat sangat cemas menunggui bapak Dahlan menjelang dan sedang operasi. Waktu membaca buku itu saya belum menikah. Saya hanya membayangkan gimana ya peran istri disaat suami kritis. Kala itu juga saya bergumam laki-laki hebat ada dalam buaian Ibu hebat dan pelukan Istri hebat. Dalam footnote foto Bu Dahlan, bapak menulis “Begitu berhasil dikeluarkan, liver lama saya langsung ditunjukkan kepada istri saya yang secara reflex terduduk dan membaca istighfar. Yang pasti hanya ibu yang tahu ‘seru’nya mendampingi bapak melewati masa itu. Pemahaman saya mulai berkembang dari perjalanan belajar mencinta, sadar dan berusaha mempertahankan cinta. Melampaui pengorbanan seribu mawar atau GALAU hanya karena pertengkaran sepele.
Kini, saatnya kita merevolusi makna cinta. Cinta harus memiliki. Karena kita hanya mencintai yang berhak kita cintai dan miliki. Saatnya menempatkan makna cinta ke posisi yang mulia. Bukan hanya karena fisik, karena harta, nafsu tapi melampaui hal itu. cinta nan kokoh.  Dibangun dengan hati jernih. Dilandasi kesadaran dari tinggi (akal sehat). Teruji oleh suka duka bersama dalam mempertahankan cinta. Jadi kalau ada anak smu nembak jangan dulu dilabeli cinta. Perselingkuhan juga tidak layak dinamakan cinta. Apalagi perzinahan nggak ada kaitannya dengan cinta.
Ayo yo semua perempuan mulia, mari kita muliakan cinta. Kita menempa diri untuk jadi lebih baik dalam belajar mencinta. Kita sadari potensi terpendam perempuan untuk sadar diri dan bertanggung jawab atas cinta kita. Kita ingatkan diri dan perempuan disekitar kita untuk lebih mempertahankan cinta hingga teruji. Semoga potensi berharga kita dapat dimanfaatkan semestinya. Mendampingi suami menjadi orang hebat.  Mendidik anak untuk menjadi generasi terbaik bumi. Mempedulikan lingkungan disekitar kita agar tidak ada lagi ibu yang tega membunuh anaknya hanya karena hutang atau bertengkar dengan suami seperti yang sudah terjadi.  Cinta yang Utuh pada diri Perempuan yang tangguh. Revolusi Perempuan dalam konsep cinta memang harus memiliki.

You May Also Like

0 komentar