Cinta Memang Harus Memiliki
Seringkali di kehidupan sehari-hari, cinta
banyak bergandengan dengan kalimat “tak
harus memiliki”. Di lirik lagu dalam berbagai versi sering kita temui rangkaian
kata ini. Bahwa cinta tak harus memiliki. Benarkah begitu? Nggak salah?
Minggu lalu di sebuah station televisi ada
pelawak yang mengatakan “aneh sekali jawaban para artis yang baru jadian ketika
diwawancarai infotaiment , jawab mereka, yang penting dia cinta sama aku, dia
perhatian, banyak waktu buat aku, ada saat kubutuhkan” pelawak itu berkelakar “
ya iyalah sebelum nikah namanya pe-de-ka-te. Sesudah nikah namanya
ka-de-er-te”. Saya bergumam “ iya sih, banyak
kasus begitu…masuk akal”.
Faktanya, cinta sebelum pernikahan yang
diuntai bertahun-tahun. Akhirnya banyak yang kandas hanya dalam hitungan bulan dan tahun. Pacaran 7 tahun bercerai
setelah 5 bulan. Alasan tidak cocok. OMG. Ini bukan tren dan sangat tidak layak
dijadikan tren. Setuju bukan???
Dulu, ketika saya
menginjak Remaja. Tepatnya SMU. Ada seorang teman yang intens berkunjung
ke rumah. Tahu kan ada maunya? Mungkin Bapak saya mencium gelagat ketidakberesan.
Entah pada saya atau pada teman saya ini. Di sore yang cerah bapak mendekati
saya, mengajak bicara dari hati ke hati. Sebuah kalimat dari bapak yang terus
terngiang sampai detik ini adalah “kalau ada anak seusia kamu (smu) yang
mengucapkan cinta padamu berarti itu bohong, itu gombal”. Ketika itu berusaha tanpa
ekspresi apapun dalam hati saya berontak-masa sih. Bapak melanjutkan “seusia
perkawinan bapak sama mama aja belum bisa dikatakan cinta, masih penyesuaian, belajar
mencintai, berusaha mempertahankan terus dan terus” Dawuh Bapak serius. “Baru
kalau seperti mbah Kung dan mbah putri itu bersemi cinta yang saling memiliki
dan teruji” kalimat terakhir ini mematahkan hati yang sedang berontak. Mulai
melunak, walau belum paham benar (gitu ya). Pada kesempatan yang lain mbah saya
yang sudah semakin sepuh mengatakan “engko yen wes tuwo. Kakung itu
koyo dulur lanang” (Nanti kalau sudah tua, suami itu seperti saudara
laki-laki). Waktu itu saya yang sedang hampir termakan gombal cupid(baca
stupid) berpikir keras. Mungkin benar yang saya rasakan ini cuma… bukan
cinta.
Cinta harus
memiliki. Cinta dan rasa cinta untuk yang kita miliki. Kepada yang Allah
titipkan untuk kita miliki. Cinta untuk orang tua, suami, anak, guru dan
orang-orang yang tulus perhatian tanpa mengharap balasan. Cinta yang sudah
melalui belajar mencinta, sadar dan berusaha mempertahankannya. Seorang
perempuan misalnya yang tadinya hanya memperhatikan dandanan dan agenda
hariannya. Menikah kemudian harus belajar mencinta, sadar dan berusaha
mempertahankan cintanya pada suami. Saling memperhatikan, saling mengingatkan
untuk sabar, syukur dan semangat. Seorang ibu yang sebelumnya hanya
memperhatikan diri dan suami. Kini harus membagi perhatian, senyum dan
ikhlasnya untuk mengasuh Sang Permata. Belajar menyesuaikan diri menjadi ibu,
sadar (tanggung jawab) mencintai putra-putrinya. Dia akan mempertahankan api
cintanya agar terus membara, walau letih menyerang, bosan menyergap. Cinta
harus membara.
Di buku pak
Dahlan Iskan Ganti Hati, cetakan I (2007) ada beberapa foto Ibu Dahlan. Beliau
terlihat sangat cemas menunggui bapak Dahlan menjelang dan sedang operasi.
Waktu membaca buku itu saya belum menikah. Saya hanya membayangkan gimana ya
peran istri disaat suami kritis. Kala itu juga saya bergumam laki-laki hebat
ada dalam buaian Ibu hebat dan pelukan Istri hebat. Dalam footnote foto Bu
Dahlan, bapak menulis “Begitu berhasil dikeluarkan, liver lama saya langsung
ditunjukkan kepada istri saya yang secara reflex terduduk dan membaca istighfar.
Yang pasti hanya ibu yang tahu ‘seru’nya mendampingi bapak melewati masa itu.
Pemahaman saya mulai berkembang dari perjalanan belajar mencinta, sadar dan
berusaha mempertahankan cinta. Melampaui pengorbanan seribu mawar atau GALAU hanya
karena pertengkaran sepele.
Kini, saatnya
kita merevolusi makna cinta. Cinta harus memiliki. Karena kita hanya mencintai
yang berhak kita cintai dan miliki. Saatnya menempatkan makna cinta ke posisi
yang mulia. Bukan hanya karena fisik, karena harta, nafsu tapi melampaui hal
itu. cinta nan kokoh. Dibangun dengan
hati jernih. Dilandasi kesadaran dari tinggi (akal sehat). Teruji oleh suka
duka bersama dalam mempertahankan cinta. Jadi kalau ada anak smu nembak jangan
dulu dilabeli cinta. Perselingkuhan juga tidak layak dinamakan cinta. Apalagi
perzinahan nggak ada kaitannya dengan cinta.
Ayo yo semua
perempuan mulia, mari kita muliakan cinta. Kita menempa diri untuk jadi lebih
baik dalam belajar mencinta. Kita sadari potensi terpendam perempuan untuk
sadar diri dan bertanggung jawab atas cinta kita. Kita ingatkan diri dan
perempuan disekitar kita untuk lebih mempertahankan cinta hingga teruji. Semoga
potensi berharga kita dapat dimanfaatkan semestinya. Mendampingi suami menjadi
orang hebat. Mendidik anak untuk menjadi
generasi terbaik bumi. Mempedulikan lingkungan disekitar kita agar tidak ada
lagi ibu yang tega membunuh anaknya hanya karena hutang atau bertengkar dengan
suami seperti yang sudah terjadi. Cinta
yang Utuh pada diri Perempuan yang tangguh. Revolusi Perempuan dalam konsep cinta
memang harus memiliki.
0 komentar